Kebiasaan yang dilakukan secara konsisten, dan seolah sudah menjadi karakter, bukan tidak bisa berubah. Segala sesuatu mengalami perubahan. Hanya tuhan yang kekal dan abadi. Selain tuhan, semua berpotensi mengalami perubahan. Perilaku, baik kognitif, efektif, maupun motorik, akan selalu berubah mengikuti perubahan mindset. Bagaimana mindset itu dibentuk sangat ditentukan oleh pengalaman dan pendidikan. juga terkadang prasangka dan pikiran.
Yang menentukan mindset, bukan mainstream. terkadang sesuatu dianggap realitas mutlak dan absolut hanya karena sudah menjadi mainstream. Padahal mainstream terbentuk semata-mata hanya karena proses indoktrinasi berkelanjutan. Yakni indoktrinasi yang berusaha memengaruhi mindset, bukan sebagai representasi kebenaran apa adannya.
Termasuk prilaku keberagaman, juga terpengaruh oleh mindset yang terbentuk berdasarkan pengalaman, pendidikan dan prasangka. Kitab suci agama bisa satu, tapi penafsiran dan pemahamnnya berbeda sesuai lingkungan dan kondisi sosialnya. bahkan perbedaan itu bisa berada pada level individu, karena setiap orang memiliki pengalamannya sendiri-sendiri.
Inilah titik temu dan integrasi agama dan kebudayaan agama, sebagaimana yang tersurat dalam Kitab Suci, dijabarkan dan diterjemahkan kedalam kehidupan nyata masyarakat berdasarkan nalar masyarakat itu sendiri. Agama memberikan dasar teologis bagi perilaku kebudayaan, sedangkan kebudayaan menjadi dinamisator agama. Dengan cara akulturasi demikianlah agama bertahan hidup dan membangun perdaban.
Faktannya, agama-agama pada umumnya gagal merealisasikan misi peradaban karena tidak memahami titik temu agama dan kebudayaan. bukan berupaya mendorong akulturasi, malah memaksa gerakan purifikasi dan puritanisme. Ada paradiga yang keliru, Bahwa melalui proses indoktrinasi mindset dapat dibentuk.
Kalau saja manusia tidak mengalami perubahan dan perkembangan dalam pengalamnnya barangkali proses indoktrinasi bisa efektif. Tapi, kenyataannya, manusia sangat kaya pengalaman baik secara empirik, rasional, maupun spiritual. Masing-masing individu memiliki pegalaman empiriknya, pengalaman rasional dan pengalaman spiritualnya.
Keterbukaan agama pada proses akulturasi memungkinkan untuk lebih elastis dan fleksibel. Elastisitas dan fleksibilitas merupakan bentuk oilihan yang memungkinkan bertahan lebih lama dibandingkan dengan kebekuan dan kekakuan.
Komentar
Posting Komentar