Langsung ke konten utama

ILMU DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Hasil gambar untuk buku

Ilmu merupakan sesuatu penting bagi kehidupan manusia, karena dengan ilmu manusia dapat memperpendek proses pencapaian semua keperluan dan kebutuhannya sehingga bisa terpenuhi secara cepat dan mudah. Ilmu juga telah banyak berpengaruh terhadap kehidupan manusia seperti halnya memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.

Meski sedemikian pentingnya kedudukan ilmu di dalam kehidupan manusia, harus kita kritisi apakah ilmu selalu merupakan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia (pekerjaan menambang, misalnya), namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi umat manusia itu sendiri, seperti yang terjadi di Hiroshima dan Nagasaki bertahun-tahun lalu. Disinilah kemudian ilmu harus di letakkan secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusian. Sebab, jika ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.

PENGERTIAN AKSIOLOGI
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut Suriasumantri (1987) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono (dalam Surajiyo, 2009) aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and goal). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Menurut Bramel (dalam Amsal, 2009) Aksiologi terbagi tiga bagian :
  1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
  2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan
  3. Socio-politcal life, yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan filsafat social politik
Dalam Encyslopedia of philosophy (dalam Amsal, 2009) dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation :
  1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
  2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
  3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.
Dari beberapa definisi aksiologi di atas, terlihat bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya.

Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.

Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat baagi manusia, terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi seperti bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa mausia pada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka. Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan ?

Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri (1996) yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.

ILMU DAN MORAL
Berbicara masalah ilmu dan moral memang sudah sangat tidak asing lagi, keduanya memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Ilmu bisa menjadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tapi sebaliknya ilmu akan menjadi manfaat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat, tentunya tetap mengindahkan aspek moral.

Perkembangan ilmu tidak pernah terlepas dari ketersinggungannya dengan berbagai masalah moral. Baik atau buruknya ilmu, sangat dipengaruhi oleh kebaikan atau keburukan moral yang para penggunanya. Peledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat, merupakan sebuah contoh penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah maju pada jamannya.
Pada dasarnya masalah moral, tidak bisa dilepaskan dari tekad manusia untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran. Moral sangat berkaitan dengan nilai-nilai, serta cara terhadap suatu hal.
Pada awal masa perkembangannya, ilmu seringkali berbenturan dengan nilai moral yang diyakini oleh masyarakat. Oleh karena itu, sangat banyak ilmuwan atau ahli filsafat yang dianggap gila atau bahkan dihukum mati oleh penguasa pada saat itu. Nicholas Copernicus, Socrates, John Huss, dan Gallileo Gallilei adalah beberapa contohnya. Selain itu ada pula beberapa kejadian dimana ilmu harus didasarkan pada nilai moral yang berlaku pada saat itu, walaupun hal tersebut bersumber dari pernyataan-pernyataan di luar bidang keilmuan (misalnya agama).

Karena berbagai sebab diatas, maka para ilmuwan berusaha untuk mendapatkan otonomi dalam mengembangkan ilmu yang sesuai dengan kenyataan. Setelah pertarungan ideologis selama kurun waktu 250 tahun, akhirnya para ilmuwan mendapatkan kebebasan dalam mengembangkan ilmu tanpa dipengaruhi berbagai hal yang bersifat dogmatik.

Kebebasan tadi menyebabkan para ilmuwan mulai berani mengembangkan ilmu secara luas. Pada akhirnya muncullah berbagai konsep ilmiah yang di-kongkretkan dalam bentuk teknik. Yang dimaksud teknik disini adalah penerapan ilmu dalam berbagai pemecahan masalah. Yang menjadi tujuan ialah bukan saja untuk mempelajari dan memahami berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah-masalah manusia, tetapi juga untuk mengontrol dan mengarahkannya. Hal ini menandai berakhirnya babak awal ketersinggungan ilmu dengan moral.

Pada masa selanjutnya, ilmu kembali dikaitkan dengan masalah moral yang berbeda. Yaitu berkaitan dengan penggunaan pengetahuan ilmiah. Maksudnya terdapat beberapa penggunaan teknologi yang justru merusak kehidupan manusia itu sendiri. Dalam menghadapi masalah ini, para ilmuwan terbagi menjadi dua pandangan. Kelompok pertama memandang bahwa ilmu harus bersifat netral dan terbebas dari berbagai masalah yang dihadapi pengguna. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah meneliti dan menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain akan menggunakan pengetahuan tersebut atau tidak, atau digunakan untuk tujuan yang baik atau tidak. Kelompok lainnya memandang bahwa netralitas ilmu hanya pada proses penemuan ilmu saja, dan tidak pada hal penggunaannya. Bahkan pada pemilihan bahan penelitian, seorang ilmuwan harus berlandaskan pada nilai-nilai moral. Kelompok ini mendasarkan pandangannya pada beberapa hal, yakni:
  1. Sejarah telah membuktikan bahwa ilmu dapat digunakan sebagai alat penghancur peradaban, hal ini dibuktikan dengan banyaknya perang yang menggunakan teknologi-teknologi keilmuan.
  2. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan para ilmuwan lebih mengetahui akibat-akibat yang mungkin terjadi serta pemecahan-pemecahannya, bila terjadi penyalah gunaan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, maka kelompok kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat manusia.

TANGGUNG JAWAB SOSIAL ILMUWAN
Ilmu merupakan hasil karya seseorang yang dikomunikasikan dan dikaji secara luas oleh masyarakat. Jika hasil karyanya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan, maka karya ilmiah itu, akan menjadi ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat luas. Maka jelaslah jika ilmuwan memiliki tanggung jawab yang besar, bukan saja karena ia adalah warga masyarakat, tetapi karena ia juga memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan, tidak hanya sebatas penelitian bidang keilmuan, tetapi juga bertanggung jawab atas hasil penelitiannya agar dapat digunakan oleh masyarakat, serta bertanggung jawab dalam mengawal hasil penelitiannya agar tidak disalah gunakan.

Selain itu pula, dalam masyarakat seringkali terdapat berbagai masalah yang belum diketahui pemecahannya. Maka ilmuwan sebagai seorang yang terpandang, dengan daya analisisnya diharapkan mampu mendapatkan pemecahan dari masalah tersebut. Seorang ilmuwan dengan kemampuan berpikirnya mampu mempengaruhi opini masyarakat terhadap suatu masalah. Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan.

Tanggung jawab sosial lainnya dari seorang ilmuwan adalah dalam bidang etika. Dalam bidang etika ilmuwan harus memposisikan dirinya sebagai pemberi contoh. Seorang ilmuwan haruslah bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik dan pendapat orang lain, kukuh dalam pendiriannya, dan berani mengakui kesalahannya. Semua sifat ini beserta sifat-sifat lainnya, merupakan implikasi etis dari berbagai proses penemuan ilmiah.

Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membikin mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.Sudah seharusnya pula terdapat dalam diri seorang ilmuwan sebagai suri tauladan dalam masyarakat.

Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat, ilmuwan yang elitis dan esoteric, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya.

Dibidang etika tanggungjawab sosial seseorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat.

Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang memepergunakan bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan.

Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan. Untuk itulah tanggung jawab ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral.

PENUTUP                                                                                                 
Ilmu adalah kumpulan dari pengetahuan yang diperoleh melalui kegiatan penelitian ilmiah yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuwan. Ilmu merupakan produk dari proses berfikir manusia. Ilmu bersifat netral pada bagian epistemologi dan ontologi saja sedangkan pada tingkat aksiologi ilmu terikat dengan nilai-nilai. Dalam memanfaatkan atau menggunakan ilmu maka hendaknya kita berlandaskan kepada moral sebagai landasan normatifnya.

Melihat bagaimana ilmu sangat berperan dalam menentukan proses-proses yang terjadi di dalam kehidupan manusia maka sudah tentu harus dibingkai dengan niliai-nilai moral agar keberadaannya benar-benar membawa kemanfaatan yang sebenarnya bagi kehidupan. Dengan demikian kedudukan ilmu yang seakan-akan begitu berkuasa ini mengharuskan seseorang ilmuan yang memiliki landasan moral yangn kuat, ia harus tetap memegang idiologi dalam mengembangkan dan memanfaatkan keilmuannya. Tanpa landasan dan pemahaman terhadap nilai-nilai moral, maka seorang ilmuan bisa menjadi “monster” yang setiap saat bisa menerkam manusia, artinya bencana kemanusiaan akibat ilmu pengetahuan manusia bisa setiap saat terjadi.

Kanda Dhedhi Irawanto, S.Hut., M.K.P.
HMI NEWS 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memilih Dengan Ilmu-Nya (ust Salim A. Fillah)

Didalam memilih pasangan yang akan mendampingi hidup kita dunia akhirat libatkan ALLAH SWT dan libatkan orang-orang yang salih disekitar kita . Nabi SAW bersabda " tidak akan kecewa,tidak akan menyesal orang yang istikharah dan tidak akan kecewa orang yang bermusyawarah".  maka ada 2 perkara ini yang selayaknya kita lakukan ketika kita hadapi urusan besar  Nabi SAW menuntunkan untuk istikharah dia shalat 2 rakaat kemudian dia berdoa   اَللهُمَّ اِنِّى اَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ وَاَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَاَسْئَلُكَ   ALLOOHUMMA INNI ASTAKHIIRUKA BI'ILMIKA WA ASTAQDIRUKA BIQUDROTIKA . dalam doa ini terkandung kepasrahan yang paling agung kepada Allah SWT "Ya Allah,sesungguhnya aku beristikharah dengan ilmu-Mu aku memohon pilihan dengan ilmu-Mu.    makna memohon pilihan dengan ilmu-Mu,adalah bukan ilmuku , bukan pengetahuanku tentang dia , bukan pengenalanku tentang dia yang entah hanya zahirny a sajapun sekecil sekali dibandingkan dengan

BILAL DAN ADZAN TERAKHIR.

Bilal bin Rabah ( Arab : بلال بن رباح , sekitar 580–640 Masehi; Bilal al-Habsyi, Bilal bin Riyah, Ibnu Rabah ) adalah seorang budak berkulit hitam dari Habsyah (sekarang Ethiopia ) yang masuk Islam ketika masih diperbudak. Setelah majikannya mengetahui bahwa Bilal masuk Islam , maka Bilal disiksa terus menerus setiap harinya, guna mengembalikan keyakinannya agar tidak memeluk Islam . Tetapi Bilal tidak mau kembali kepada kekafirannya dan tetap melantunkan " Ahadun Ahad, Ahadun Ahad... ". Pada akhirnya Bilal dimerdekakan oleh Abu Bakar , dan menjadi salah seorang sahabat nabi . Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa rasulullah pernah mendengar suara terompah Bilal di surga . Ketika hukum syariat adzan diperintahkan oleh Allah , maka orang yang pertama kali disuruh oleh rasulullah untuk mengumandangkan adzan adalah Bilal bin Rabah, ia dipilih karena suaranya sangat merdu dan lantang. Ia dikenal sebagai muazin pertama dalam Islam. Semenjak Rasulullah wafat , Bila

PERSATUAN DAN DINAMIKA ISLAM DIINDONESIA.

ASSALAMU ALAIKUM WARAH MATULLAHI WABAROKATUH BISMILLAHIRROHMANNIROHIM Sumber gambar :  http://muslimedianews.rssing.com  Dalam sejarah Indonesia, terutama awala abad ke 20, kita sering mendengar munculnya banyak organisasi-organisasi Seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-irsyad, dsb.  Banyak orang menjadi punya persepsi bahwa ummat Islam itu sejak awal terpecah belah karena adannya organisasi-organisasi itu. Padahal, jika kita lihat apa yang mereka fikirkan dan apa yang mereka perjuangkan, juga melihat bagaimana mereka berdinamika didalam sejarah, Persepsi itu seharusnya tidak muncul sebab walaupun mereka ada didalam organisasi yang berbeda, mereka sebetulnya mendirikan organisasi ini dalam wilayah perjuangan masing-masing.  Sementara dalam konteks hubungan antar organisasi itu sendiri, mereka punya pemikiran untuk berasatu. Salah satu buktinnya setelah organisasi-organisasi ini berdiri dan memang terkadang memang ada perselisihan yang cukup meresahkan ditengah mas